Latest Entries »

Gang dari masjid Al-Manar sampe kos benar-benar terang. Sholat isya malam ini semestinya menyenangkan. Tapi rupanya hatiku tak seceria rembulan yang wajahnya pulen bahagia di atas sana. Raut sembab mukanya seakan menertawakan aku yang sedang pilu. Menjadikanku ciut. Lembayun guyuran sinarnya yang gemilang menelanjangiku, seakan rasa malu ini terlihat gamblang olehnya. Ahh, betapa lugasnya kurasa skenario ilahi. Entah mengapa,terlintas begitu saja apa yang pernah kubaca dahulu dalam buku “The Miracle of water” karya Massaru Emoto. Bahwa air berisi nasi ketan yang diberi ucapan-ucapan yang baik, ternyata menghasilkan air tape yang wangi, sedang yang diberi kata-kata buruk, menghasilkan nasi ketan yang menghitam. Tapi yang menyentakkan adalah air dengan nasi ketan tanpa diberi kata-kata apapun, ternyata menjadikan nasi ketan yang busuk dengan aroma yang memuakkan, jauh lebih buruk daripada air dengan nasi ketan yang dicaci maki.

Artinya apa? Begitulah manusia. Ternyata didiamkan itu menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan daripada dicaci maki. Didiamkan artinya keberadaan seseorang adalah tidak dianggap dan diabaikan. 70% tubuh kita ialah air. Maka sebenarnya eksistensi manusia begitu terkait dengan sifat-sifat dasar air. Analogisme itu begitu terasa malam ini. Dalam langkahku, begitu trenyuh diriku ketika aku sadar bahwa aku mengenyamnya; terabaikan dan tidak dianggap.

“Hati ini lara terkoyak

Ranum jiwa ini meredup jengah

Lantunan nada itu mungkin tak indah bagimu

Tapi aku merajutnya dengan dawai mahkotaku

Membingkainya dengan roman surgawi

Ahh, mungkin ku salah sangka

Mungkin ku salah duga

Tapi ku tak peduli lagi

Yang kini tlah kusadari, inilah aku,.

Yang terjebak dalam derit sayat hati”

Hmm, syair ini cukup. Cukup meredakan hatiku yang sudah mulai lunglai. Mungkin inilah jerit hati terakhirku di dalam sana. Sebelum ia mulai layu, menghitam, dan membusuk seperti nasi ketan itu.. menebar aroma liar yang arogan, menyengat, dan tanpa maaf.

Rata PenuhDua kata yang cukup menggelitik. Berasa kata dasarnya sama? Sebenarnya tidak sama sekali. Tapi kalo dipaksain supaya sama, maknanya jadi rada kritis. Sepintas membaca keduanya, seakan kata-kata ini berawal dari satu kata; poligami. Yupz. Satu kata yang terlalu sering menggunjing daerah abu-abu kaum perempuan.

Sebenernya kata ‘poligami’ lebih lekat pada kata ‘poligamist’ yang mana poligamist secara bahasa bolehlah diartikan sebagai ‘orang yang ber-poligami’. Sedang kata ‘poligamers’ yang notabene secara tata bahasa merupakan paduan dari awalan poli-, game, dan akhiran –er(s) lebih tepat diartikan sebagai pemain (banyak) game..

Beeh. Berasa hambar ni mbahas secara normatif. Kurang kerjaan banget ya bahas kata-kata berdasar tata bahasa. Tapi ternyata seru juga kalo kata poligamers disandingkan dengan kata ‘poligamist’… weitz! Alhasil si ‘poligamers’ terpaksa ngikut (atau tepatnya, diruda paksa) untuk mengadopsi ‘poligami’ sebagai kata dasarnya. Nah lo, sekarang apa kita bisa mbedain antara poligamist dengan poligamers??

Hmm, secara intuisi boleh2 saja bukan berargumentasi untuk membuat kata lebih menarik? Poligamist lekat sebagai orang yang memang berpoligami secara seharusnya. Dengan berbagai macam konsekuensi logis dan psikologisnya. Sedang poligamers berasa lebih cocok dengan orang-orang yang hanya bermain semata. Lebih berkonotasi negatif. Dimana gamers tak hanya berlingkup objek memainkan software program mainan semata, tapi juga perasaan wanita (meski banyak juga loh wanita yang memainkan perasaan laki2, hehe. Laknatullah atas mereka!). Pokoknya laki2 yang mengutak atik agama sebagai kedok berbuat sunnah, tanpa mengindahkan kewajiban-kewajiban yang semestinya, merupakan sebuah kejahatan besar. Duh, payah tenan dah orang ni. Yang jelas, menikahi lebih dari seorang wanita harus dalam tendensi dunia akhirat. Makanya, hati2 ya para calon ibu, untuk bisa lebih cerdas membedakan mana poligamist dan mana poligamers. Kalo menurutku mah lebih ashoy ‘tunggal putra-tunggal putri’, he, ganda campuran maksudnya…. ^

Jam tanganku udah nunjukin pukul 5 lewat. Ini hari senin. Sengaja sore ni aku mampir warung burjo belakang kampus sebelum ke kos. Maklum besok da rapat dan masih banyak tugas menumpuk di kos; nyapu, nyuci, kasi makan cupangku. Dan kini aku lapar. Hehe, sebenernya bukan alasan tepat sih untuk mampir di warung burjo ini. Bukan pula burjonya loh ya yang bikin aku mampir. Tapi karena molennya… hag3.

Iya. Aku rindu molen warung sini. Habis enak. Rasanya engga ‘njelehi’. Ada rasa pisang, nanas, dan kacang ijo. Molen pisang sih biasa ya. Palagi kacang ijo. Di jogja ada. Tapi nanas jarang2 nemu tuh. Palagi molennya pas anget habis digoreng gt. Beeh,.. nyahut.. enag banget bro. Tepung terigunya gurih, sedikit manis. Digoreng dengan tekstur tidak terlalu keras, dan lembut di lidah.. paduannya dengan nanas yang memberi rasa kejutan dengan sensasi asem manisnya yang waw itu. Hhheh. Ashoey berat mah! Makan molennya cukupan 2 biji. Sanding dengan segelas kopi anget. Tentu sambil nungguin pesenan mi rebus telur. Aku sering banget kesini. Ketika perut melilit di tengah malam, apalagi pas masa-masa ujian tiba. Berhubung 24 jam warung ni buka, molen selalu tersedia. Ahh, suatu saat nanti, andai aku ngga di solo lagi tentu warung ini bakal jadi kenangan kelak. Yang menemani hari-hariku di kota batik ini. Menjadi saksi bisu perjuanganku.

“Tanpa susu mas..”, kataku. Stroberi original memang jus favoritku. Malem ni nyegaja aku mampir kios “Mr.Juice” yang buka mpe jam 10 malem. Disamping emang rindu, badanku yang kaga fit berasa perlu asupan vitamin C lebih. Badanku kaku seharian. Berangkat dari jogja jam setengah lapan pagi buat memburu rapat osmaru jam 9. Belum jg da janjian ma dokter nanang di lab anatomi jam 11. Nyari bahan skripsi. Hadew, benere kegiatan yang menyenangkan lho. Tapi entah mengapa badanku berasa berat sore tadi. Mata ni lengket abis. Mungkin rebahan sejenak cukup membantu. Makanya, begitu nyampe kos jam setengah tiga aku rebahan, berharap azan ashar bisa mbangunin aku dari tidurku.. tapi ternyata, tahukah kamu jam berapa aku bangun? Jam 5.12. Parah!!

Lagi aja minum dua sruputan kecil jus stroberi. Aku baru sadar kalo jalan surya ini emang rame. Lalu lalang kendaraan seperti nggak henti-hentinya melintas. Sampai perhatianku tertuju pada seorang ibu dengan motor honda astrea impressa yang mboncengin ketiga anaknya yang berseragam SD. Jam segini?? Seragam SD?? Hmm. Yang menarik perhatianku justru bukan anak SD nongol jam segini.. tapi pemandangan semacam ini mengingatkanku pada sosok orangtua yang bener2 rela, tulus ikhlas membanting tulang buat masa depan anak2nya. Entah mengapa hatiku trenyuh. Begitu melihat hal ini aku jadi ingat siang tadi. Di lab anatomi sembari menunggu dokter nanang tiba aku ngobrol dengan penjaga lab. Beliau bercerita tentang kedua putrinya. Dengan bangganya beliau menceritakan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan mengantarkan putrinya yang kini telah sukses bekerja di Bank Indonesia. Matanya nanar. Bergetar hatiku. Sinar matanya seakan penuh rasa syukur, gembira, dan rasa bangga ketika bercerita betapa kini putrinya telah menjadi orang yang sukses. Benar adanya jikalau orangtua sungguh menaruh harapan di pundak kita. Mengharapkan keberhasilan kita. Mengharapkan yang terbaik. Pun melihat kita berhasil adalah cita-cita tulus mereka. Betapa bahagianya mereka ketika harapan mereka terwujud. Ada rasa haru yang merasuk. Aku ingat bapak ibu di jogja sana. Betapa beratnya menghidupiku di kota solo ini. Betapa besar curahan kasih sayang mereka yang seakan tak bertepi.. Mereka bekerja siang malam membanting tulang di sana tentu mengharap yang terbaik bagiku. Aku jadi sadar betapa besar harapan mereka padaku..

Hmm, tak terasa jus strawberi di tanganku udah habis.. hari juga udah agak malam. Aku musti segera cari aqua literan untuk persediaan beberapa hari di kota ini. Maklum, galon ‘total’-ku uda habis..

Sembari menstarter honda supra-ku, kuberikrar dalam hati: “pak… bu’… aku akan memberikan yang terbaik buat kalian…” ^

Sudah hampir dua tahun aku berkepala dua. Artinya, sudah hampir 22 tahun aku ada. Sudah hampir 22 tahun aku belajar mengenal apapun di sekitarku. Menyelami hidupku. Semua nampak serasi dan wajar. Mudah-mudah saja memahami itu semua. Hanya ada satu yang sampai sekarang aku belum paham; makhluk yang bernama perempuan..

Mungkin tidak berlebihan jika aku bertanya, “apa itu perempuan?” Akan ada banyak versi jawaban yang aku yakin tersirat di benak kita semua dengan lontaran pertanyaan macam itu. Mengapa tersirat? Ya karena pertanyaan ini retoris. Andai tertulis, tentu butuh jutaan galon tinta hanya untuk menjawab secara komplit pertanyaan sesederhana itu.

Ibuku juga perempuan. Setahuku dialah yang membesarkan aku. Membelaiku ketika aku sedih. Melindungiku ketika dalam bahaya. Selalu berusaha memberikanku yang terbaik dari kedua belah tangannya. Dan dialah makhluk perempuan pertama yang aku kenal. Bahkan meski makhluk pertama yang paling dekat denganku adalah perempuan dan aku telah dilahirkan dari rahimnya hampir 22 tahun yang lalu, kini tetap saja bercokol pertanyaan itu; “apa itu perempuan?”

Makin ku beranjak dewasa bukannya aku makin tahu dan mengenal mereka. Justru aku makin bingung dibuatnya. Mereka bertebaran di mana-mana. Sedari TK hingga kuliah kini, tetap saja ada makhluk yang bernama perempuan itu. Aku tahu. Aku hafal nama-nama sebagian dari makhluk itu. Alamatnya, nomer henphonenya, hobinya, kesukaannya, hingga wajahnya pun aku hafal betul. Tapi itu semua tidak mampu menjawab pertanyaan; “apa itu perempuan?”

Tingkah mereka aneh. Banyak variannya. Udah cengeng. Cerewet. Gampang marah. Mudah tersinggung. Pemalu. Sok imut. Sok suci. Ahh, terlalu ‘lebaiy’ untuk dijabarkan semuanya. Terlalu buang waktu pula untuk membahas ini semua. Apalagi sifat ini berubah-ubah berdasarkan siklus bulanan mereka. Ahh, benar-benar makhluk yang unik.

Sebagian dari mereka memang menarik. Tapi sebagian dari mereka juga menyebalkan. Cukup menyebalkan malah. Tak sedikit yang overprotektif; benar2 say no to lelaki! Tapi ada juga yang berbangga ria dikerubuti kaum lelaki, open2 saja dengan semua lelaki. Benar-benar dikotomi yang luar biasa membingungkan.

Cukup sesak hati ini untuk berbesar hati mengejar mereka, apalagi dengan anomali yang mereka timbulkan. Cermati saja, bukankah sudah sunnatullah-nya ya ayam jantan mengejar ayam betina? Lihat juga bunga kamboja yang menarik hati lebah madu. Tapi sekarang kita lihat makhluk bernama perempuan, justru terkadang merekalah yang sengaja mencari mangsa di sana sini hingga dunia ini berasa terbalik. Apa ada bunga yang mengejar kumbang atau ayam betina yang menggoda ayam jantan memintanya untuk dikawini?? Lebih ekstrem lagi mereka sekarang mulai berani memperkosa kaum lelaki. Apa? Memperkosa?? Nggak ada vocab yang lebih sadis lagi kah?? Hmm, kata ‘memperkosa’ selalu saja diartikan laki-laki yang meruda paksa seorang perempuan. Selalu ada kata ‘paksaan’ dan ‘kekerasan fisik’. Apa dengan makna yang sama kita mengartikan perkosaan yang dilakukan oleh perempuan?? Tidak sama sekali. Perkosaan kaum perempuan lebih kepada cara mereka bersikap di depan laki-laki. Cermati ketika makhluk perempuan ini datang pada seorang laki-laki yang kontrakannya sedang kosong dengan pakaian yang minim dan sikap yang menggoda. Apa yang akan terjadi? Naudzubillah. Inilah perkosaan pada laki-laki. Belakangan pun makhluk ini pengen sejajar jadi imam sholat berjamaah menggantikan posisi imam laki-laki. Lebih parah lagi makhluk ini pernah jadi presiden negeri ini dan kini ia mau menjajalnya kembali. Inikah emansipasi yang mereka sodorkan? Benar-benar anomali yang luar biasa. Tentunya koridor emansipasi semestinya tidak menyinggung hukum sunnatullah, apalagi mencoba mematahkannya.

Tapi entahlah. Bagiku mereka tetap makhluk yang aneh. Apapun yang mereka kerjakan.
Mungkin butuh jutaan watt listrik untuk menghidupkan ribuan lampu demi menerangi makhluk ini supaya lebih jelas lagi. Lampu lilin sebiji yang kubawa ini benar-benar hanya remang-remang saja. Ahh, andaipun bisa aku pengen mengerti. Andaipun bisa aku pengen memahami. Apatah daya?

Bagiku perempuan tetap saja begitu. Tetap misterius.

AMRAY Web Directory
Free Directory Listing

Cukup beralasan ketika banyak pria mengibaratkan paras wanita seindah rembulan. Memang di angkasa bulan terlihat indah, tapi dalam jarak dekat, sejatinya permukaan bulan tidaklah rata, penuh kawah2 curam dan sangat jauh dari kesan indah.

Begitulah wanita, ketika lajang benar-benar mempesona, namun setelah didekati dan dipinang, di mata pria ia akan berubah menjadi momok yang menggetarkan bulu kuduk. Menyeramkan dan sangat ditakuti. Begitulah kiranya yang dirasakan para suami takut istri.

Bulan memang nampak indah di langit yang bersih. Apalagi dengan hamparan jutaan bintang yang berkilauan. Ketika purnama penuh, bulan memiliki performa pesona penuh. Benar-benar sangat lugas. Tak ada yang ditutup2i. Tak ada yang menolak berdecak kagum mengatakan purnama itu indah. Sedang dalam beberapa hari terakhir, bulan berpenampilan lain. Bulan sabit yang lentik nampak tersenyum centil, malu-malu menampakkan wajahnya. Sikapnya yang sembunyi-sembunyi dan memendam misteri ini malah menarik hati, menggugah rasa keingintahuan siapapun yang memandangnya. Begitulah, baik bulan sabit maupun purnama, keduanya memiliki pesona tersendiri dalam menggambarkan perempuan. Di mata pria, apa pun yang lugas dan terbuka maupun yang sedikit tertutup tentu sangatlah menarik. Keduanya benar-benar menyita hati pria. Disangkal maupun diakui, objektivitas naluriah pria memang demikian adanya.

Bulan memiliki siklus dalam peredarannya. Satu bulan siderik maupun satu bulan sinodik sama-sama menggambarkan rangkaian siklus bulan yang berulang. Dalam siklus tersebut penampakan bulan pun berlainan. Dalam tenggat purnama, bulan sangat cerah berseri. Namun saat bulan mati langit malam berasa hitam kelam, sesuai slogan; “ga ada bulan ga rame!!:p”. Begitulah pula wanita. Siklus bulanan yang mereka dapati membuat emosi diri mereka tidak stabil. Iya kalau lagi enak diajak ngobrol seperti putri dari kahyangan, kalau lagi “bad mood” hari pertama, nggak beda jauh sama ayam lagi ‘angrem’. Benar-benar m.e.n.y.e.b.a.l.k.a.n!!

Memang. Wanita unik bagai rembulan..

Dokter harus benar. Salah sedikit adalah malpraktek.

Ini animo masyarakat yang dikotomi. Berdiri dalam wilayah abu-abu. Bisa ya bisa pula tidak. Bahkan kadang tendensif dan merugikan. Animo ini cenderung mem-babu-kan dokter. Sering penggunaannya tidak manusiawi. Karena perlu dicatat, dokter bukan robot. Dokter juga manusia, yang punya rasa jenuh, rasa lelah, sehingga barang tentu konsentrasi bakal jauh dari kata stabil. Mungkin banyak paradigma dan stigma yang perlu dibenahi.

Berapa banyak kasus diupload dalam media massa? Pemuatan yang selalu saja serta merta mengadopsi kata malpraktek padahal masih terlalu dini untuk dikatakan demikian. Koran, majalah, televisi, bahkan radio. Semua berlomba memojokkan dokter yang seakan didakwa salah sebelum ada proses hukum yang komprehensif. Hampir semua berita mengenai dokter yang dimuat di mass media bercerita tentang kesalahan2 dokter.

Padahal pernah terpikir? Jasa-jasa dokter seberapa besar dalam mensejahterakan dunia? Bisakah dibayangkan dunia tanpa dokter? Berapa ratus pasien telah tertolong dari tangan seorang dokter? Yang mana si dokter harus masuk koran gara2 dugaan malpraktik, sungguh miris. Agaknya jasa si dokter seperti dikesampingkan. Pemberitaannya dalam media massa dianaktirikan. Bandingkan saja dengan profesi dan jabatan lain; Pengacara X berhasil memenangkan kasus—ini menjadi berita, Presiden meresmikan jembatan X—ini juga menjadi berita, kepolisian berhasil menangkap teroris X—ini juga berita. Ini hanya beberapa contoh. Meskipun toh kejelekan dari beberapa profesi ataupun jabatan ini juga menjadi berita, tetapi pemberitaan lebih berasa berimbang; baik dan buruk. Tapi dokter?? Mana ada berita dokter X berhasil mengobati pasien A dengan tuntas dimuat dalam koran2 atau majalah2 ibukota? Ada pun itu 1000 banding 1. Ini pun mungkin termuatnya dalam majalah semi jurnal kesehatan. Hampir semuanya memaparkan tentang keburukan dan keburukan dokter. Pemberitaan yang pilih kasih seperti inilah yang cenderung menjerumuskan dokter dalam stigma negatif. Inilah efek kebebasan pers yang cenderung salah kaprah.

Memang menjadi dokter bukan suatu profesi yang mudah. Tidak setiap dokter idealis, tapi dokter dituntut untuk perfeksionis. Dokter tidak seperti tukang atau kuli yang bisa beristirahat kala lelah. Dokter juga tidak seperti pelukis atau penyanyi yang sesuka hati berkecimpung menikmati pekerjaannya hingga tak tergayut oleh tuntutan waktu. Dokter juga bukan detektif atau intelijen yang berpikir kausatif hanya di saat ada kasus. Tapi dokter adalah campuran. Suatu keharusan menjadi seorang profesionalis. Terdapat tuntutan disiplin, logis, dan taktis di sana. Pun dalam profesi, rasa seni memberi nilai lebih dalam eksistensi seorang dokter dalam keberhasilannya mengobati dan menghadapi pasien. Tuntutan profesi yang tinggi seperti inilah yang membuat posisi dokter menjadi sulit. Presiden direktur yang tidak menghadiri rapat pleno bisa diwakilkan. Dosen yang berhalangan hadir mengajar bisa meminta ganti tambahan jam pelajaran. Bahkan pembantu yang kelupaan mematikan kompor hingga wajan bolong pun masih memungkinkan ada kata maaf. Terdapat kelonggaran toleransi di sana. Tapi dokter? Sedikit saja pasien merasa dirugikan, itu malpraktek. Semua yang dilakukan dokter harus benar di mata pasien. Tidak boleh tidak. Sepertinya profesi dokter kering dari toleransi.

Disamping tidak berimbang, penggunaan bumbu2 yang berlebihan dalam pemberitaan mass media menjadikan berita sangat sensasional. Mass media kebanyakan adalah orang awam dari dunia medis. Bisa dikatakan pihak ini termasuk masyarakat umum, yang ikut merasakan pelayanan dokter. Maka memang tidak keliru ketika sedikit saja, kita ulang, sedikit saja kekurangan atau kesalahan yang sebenarnya masih bisa ditolerir dibesar-besarkan. Walaupun memang banyak pula kesalahan dikarenakan kelalaian dokter, tapi tidak semuanya demikian. Tidak semua musti dijadikan berita yang dirilis terlalu dini. Harus ada selektifitas yang memang membutuhkan pengetahuan. Apa memang kelak mass media butuh diberi pengetahuan tentang dunia medis? Entahlah. Tapi yang jelas karena keawaman dunia pers-lah menjadikan mass media sangat vokal. Animo yang tercetak atas berita yang dibesar-besarkan menjadikan masyarakat ikut-ikutan vokal. Ikut-ikutan mem-babu-kan dunia medis. Pelayanan harus selalu fit, harus oke, dengan performa penuh dan tanpa cacat. Salah sedikit vokal. Mengatakan percobaan malpraktik dan pelayanan tidak memuaskan. Ter-upload di media massa. Masyarakat yang lain menjadi tersugesti negatif, timbullah stigma negatif. Saat demikian, kenapa tidak berfikir terbalik atas kontrapretasi dunia medis terhadap masyarakat? Kalau tidak ada pelayanan medis apa masyarakat bisa hidup layak? Kenapa kita tidak saling toleransi saja? Sama2 saling membutuhkan.

“Ngono yo ngono ning ojo ngono”. Pepatah jawa ini mungkin cukup dialamatkan bagi kita semua. Bagi masyarakat, bagi dokter sebagai ikon dunia medis, dan yang paling penting pers tentunya. Pers seharusnya lebih dewasa. Lebih berkualitas. Mencetak berita boleh-boleh saja. Tapi pemaparannya harus lebih objektif dan berimbang. Karena perslah yang paling berpengaruh dalam mencetak pola pikir masyarakat. Tapi yang jelas, semua keadaan ini membuat dokter ter-skak terus menerus. Meski masih bisa melangkah. Tapi ter-skak berulang kali itu melelahkan. Apalagi musuh main caturnya anak bayi yang baru ngerti kalau memposisikan ratu punya lawan dengan biji catur miliknya sehingga terancam itu memuaskan. Padahal esensi main catur tidak sesederhana itu. Apalagi kalo akhir-akhirnya remis; benar-benar menjengkelkan.

Itulah posisi dokter. Harus nrimo disu’dzoni terus menerus. Bahkan menjadi profesi yang paling terkekang oleh zaman, meski ia termasuk yang paling dibutuhkan zaman. Menyedihkan.

AMRAY Web Directory
Free Directory Listing

“Siapa bilang menulis itu mudah”. Setengah tidak percaya, ku ucapkan kembali kalimat itu berulang-ulang. Sempat terngiang beberapa kali di kepalaku, barulah aku mengerti bahwa kata-kata Prof. DR. Umar Anggoro Jenie setengah dekade yang lalu itu benar. Bahwa menulis tidak selalu mudah. Tidak semua orang bisa mencurahkan gagasan atau ide-ide di kepalanya dengan mudah, mengemasnya dalam kata-kata yang runtut, mudah ditangkap, dan jelas.

Menulis bagaikan mengukir prasasti bagi seseorang. Benarlah ungkapan “aku menulis, maka aku ada”. ‘Ada’ di sini bukan berarti hanya pertanda bahwa seseorang ada secara harfiah, tapi ‘ada’ di sini menunjukkan pula eksistensi seseorang di bidangnya, sejauh mana pandangan seseorang terhadap sesuatu, memetakan posisi seseorang, bahkan menunjukkan karakter pribadi seseorang. Sebagaimana berbicara, logat boleh sama, tapi ‘rasa’ pasti beda. Begitu pulalah menulis. Gaya bahasa bolehlah sama, tapi karakter tulisan tiap orang pasti berbeda, yang membuat ‘rasa’ dari tulisan pun berbeda. Menggigit? Syahdu? Menggertak? Atau malah fenomenal? Rasa seni mutlak bermain di sini. Menentukan bagaimana diksi, bagaimana alur, bagaimana majas, yang dalam suatu tulisan, hal itu membangun kayanya suatu ‘rasa’ tersebut. Benarlah adanya bahwa dengan tulisannya, seseorang itu ‘ada’ dalam makna apapun.

Menulis tidak semudah membaca. Namun, dari membaca kita bisa menulis. Makin banyak kita membaca, makin mudah kita menulis. Kalau budaya membaca saja tidak ada, bagaimana bisa menulis? Tentu esensi dari rentetan kalimat di atas bukan lantas membaca buku seharian saja, tapi membaca dalam konteks ini mencakup pula mencermati situasi dan kondisi, kritis terhadap lingkungan, menangkap gagasan dari apa yang dibaca, dan senantiasa menjadi pribadi yang terbuka. Sehingga jika seseorang memiliki gagasan ataupun ide-ide baru yang melengkapi, tandingan, atau fenomena lain maupun serupa yang ditemui di sekitarnya, ia punya ‘sesuatu’ untuk diungkapkan. Sayangnya, masyarakat indonesia kebanyakan mengungkapkan ‘sesuatu’ tersebut dengan cenderung mengobrolkannya atau menggunjingkannya. Bahkan banyak diantaranya yang hanya cuek dan menganggapnya angin lalu. Sangat sedikit yang mengungkapkan ‘sesuatu’ itu dengan menulis.

Kembali lagi pada pertanyaan “siapa bilang menulis itu mudah?”. Jawabannya sebenarnya gampang-gampang susah, karena pertanyaan ini berujung retoris, tapi berbobot logis. Menulis itu keiklasan, bukan paksaan. Tulisan yang bagus bukanlah tuntutan dalam kerangka intimidasi. Bagaikan potret kehidupan yang dirangkai dalam satu album, menulis melukiskan track record apapun dalam diri seseorang. Buah tulisan itu akan selalu ada, pun jauh ketika seseorang itu telah tiada. Pemikiran, kisah, maupun karakter diri jelas tercermin dalam buah karya itu. Masalah muncul pada seberapa lekat kebiasaan mengungkapkan ‘sesuatu’ yang dialami seseorang dengan menulis. Seperti saat memandang gelas yang setengah kosong dan setengahnya berisi, optimisme membuncah jika kalimat retorik itu diubah, dari “siapa bilang menulis itu mudah?” menjadi “sangat mudah untuk menulis”. Rasakan dua hal yang sebenarnya bobotnya sama besar dan berlawanan. Jadi sebenarnya, inti permasalahan itu berakar pada otak kita masing-masing, bagaimana kita memandang suatu hal. Termasuk membiasakan menulis. Jika kita berpikir menulis itu sukar, maka sukarlah ia. Tapi sebaliknya, jika berpikir menulis itu mudah, maka mudahlah ia.

Faktor seni sebagai hal yang mutlak dalam membangun kerangka buah tulisan sangat berbeda antara orang perorang dan itu tidak akan pernah bisa dibandingkan. Pun pengalaman seseorang dengan orang lain tidak akan pernah ada yang sama persis. Maka untuk apa merisaukan apa yang kita tulis? Untuk apa merasa kerdil terhadap penulis besar sekalipun? Mereka tidak mengalami apa yang kita alami bukan? Maka jangan mempersulit hal yang mudah. Kalau memang senyatanya mudah, kenapa harus dipersulit? Pandanglah menulis sebagai objek yang mudah. Curahkan apa yang kita alami, kita pikirkan, maupun yang kita rasakan. Maka dengan tulisan itulah kita membangun prasasti terbesar bagi diri kita, yang menunjukkan bahwa kita pernah ada. Karena memang “aku menulis, maka aku ada”.